Jumat, 20 Juni 2025

Ketika Jiwa Berdiam Bermakna Itikaf Bersama Sajadah


Dalam kesibukan dunia yang tak pernah berhenti, ada satu momen yang dihadirkan Islam untuk menenangkan jiwa dan memperbarui hubungan seorang hamba dengan Rabb-nya, yaitu itikaf. Itikaf adalah bentuk ibadah dengan cara berdiam diri di masjid, menjauh dari dunia luar untuk fokus sepenuhnya kepada Allah SWT. Dalam kesunyian dan kesungguhan itulah, sajadah menjadi sahabat setia, tempat bersujud, berdzikir, membaca Al-Qur’an, dan meneteskan air mata taubat.

Itikaf berasal dari kata ‘akafa yang berarti menetap atau tinggal. Dalam konteks ibadah, itikaf berarti tinggal di dalam masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah, biasanya dilakukan pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Namun, secara umum, itikaf bisa dilakukan kapan saja.

Rasulullah SAW sendiri tidak pernah meninggalkan itikaf di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan hingga akhir hayatnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

"Rasulullah SAW beritikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkannya, kemudian para istri beliau beritikaf setelah beliau wafat."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Itikaf memberikan waktu untuk menyendiri bersama Allah. Di dalam masjid, dunia ditinggalkan sejenak, dan jiwa kembali ditata. Kesibukan diganti dengan dzikir, gawai diganti dengan mushaf, dan kasur diganti dengan sajadah.

Saat seseorang memilih beritikaf, dia membawa sedikit bekal duniawi: mungkin hanya tas kecil, baju ganti, mushaf, dan yang tak boleh ketinggalan—sajadah. Tapi sajadah bukan hanya untuk shalat. Bagi seorang mu’takif (orang yang beritikaf), sajadah menjadi:

Tempat Shalat
Di atas sajadah itulah shalat lima waktu dan shalat malam ditegakkan dengan kekhusyukan

Tempat Dzikir dan Tafakur
Sajadah menjadi tempat bersila merenung, berdzikir, membaca Al-Qur’an, atau menangis mengingat dosa

Tempat Istirahat
Dalam keadaan lelah, banyak orang memilih untuk berbaring sejenak di atas sajadah—bukan untuk tidur nyenyak, tapi sebagai bentuk ketundukan yang lembut kepada Allah

Ruang Khusus Spiritual
Sajadah menciptakan batas ruang pribadi, tempat aman bagi mu’takif untuk menyendiri dalam makna.

Beritikaf bukan sekadar “berdiam diri di masjid”, tetapi membiarkan jiwa pulang ke rumahnya yang sejati: mengingat Allah. Sajadah menjadi simbol ketenangan jiwa yang sedang mencari, memohon, dan menyucikan diri.

Bayangkan seseorang duduk bersila di atas sajadah, mushaf terbuka di pangkuannya, sementara suara azan menyapa dari kejauhan dan cahaya fajar menembus jendela masjid. Tak ada status, pekerjaan, atau gadget hanya ada hamba dan Tuhannya. Di atas sajadah itu, jiwa merunduk, mengadu, dan kembali pulang.

“Aku bukan siapa-siapa saat masuk ke masjid ini. Tapi di atas sajadahku, aku menangis, aku bicara dengan Allah, dan aku pulang dengan hati yang baru.”
- Seorang mu’takif Ramadhan

Banyak orang menemukan perubahan hidup dalam momen itikaf. Sajadah mereka menjadi saksi pertobatan, tempat di mana hati yang keras dilunakkan, dan doa-doa yang selama ini tertunda mulai mengalir dengan jujur.

Sajadah tak pernah berbicara, namun ia merekam semua. Doa yang lirih, tangis yang pelan, dan janji-janji dalam sujud. Di atas sajadah, banyak orang memulai perubahan besar dalam hidupnya.

Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:

"Dan bersujudlah serta dekatkanlah dirimu kepada Allah."
(QS. Al-‘Alaq: 19)

Sajadah menjadi jembatan sujud itu. Ia bukan benda biasa—ia adalah lantai untuk surga, tempat bertemunya dunia dan akhirat dalam hening yang penuh makna.

Itikaf bersama sajadah adalah perjalanan spiritual yang indah. Saat dunia terasa bising, sajadah menawarkan keheningan. Saat hati resah, sajadah menjadi tempat bersandar. Dan saat hidup terasa kosong, sajadah menjadi tempat mengisinya kembali dengan cahaya ilahi.

0 komentar:

Posting Komentar