Itu adalah sajadah milik ayah.
Awal dari Segalanya
Saya masih ingat, waktu kecil, setiap subuh saya terbangun bukan karena alarm, tapi karena suara lembut ayah yang melantunkan doa di atas sajadah itu. Ia tidak pernah meninggalkan salat, bahkan ketika hujan deras, ketika sakit, atau ketika pulang larut dari bekerja.
Sajadah itu, yang dibelinya dari pasar kecil di kota seberang, menjadi tempat ia kembali setiap hari. Tempat ia mengadukan lelah, mensyukuri rezeki, dan memohon kekuatan untuk keluarganya.
Sujud yang Menggetarkan
Tahun lalu, ayah jatuh sakit. Usianya memang sudah senja, tubuhnya mulai melemah, dan langkahnya sudah tidak lagi sekuat dulu. Tapi satu hal yang tidak berubah: ia masih tetap salat di atas sajadahnya.
Saya pernah menyarankan, “Yah, salat di kursi saja. Kan bisa duduk.”
Tapi ayah menjawab dengan senyum, “Kalau masih bisa sujud di atas sajadah ini, aku akan lakukan. Karena di sanalah aku merasa paling dekat dengan Allah.”
Dan benar saja. Di hari terakhirnya, sebelum Allah memanggilnya pulang, ayah sempat meminta dibantu wudhu. Lalu ia salat zuhur di atas sajadah itu. Lambat, pelan, tapi penuh khusyuk.
Beberapa jam setelahnya, ia menghembuskan napas terakhir.
Sajadah yang Bercerita
Setelah pemakaman, saya duduk lama di kamar ayah. Pandangan saya tertuju pada sajadahnya yang terlipat rapi di atas tempat tidur. Saya buka, saya rabai, dan saya peluk erat-erat.
Ada bekas lipatan di tengah — tempat dahi ayah sering bersujud. Ada noda air mata, entah dari lelah, dari syukur, atau dari doa-doa panjang yang hanya dia dan Allah yang tahu.
Sejak hari itu, saya tidak pernah mencuci sajadah itu. Bukan karena malas, tapi karena saya ingin menyimpan jejak sujud ayah. Setiap kali saya salat menggunakan sajadah itu, rasanya saya tidak sendiri. Seakan ada doa ayah yang masih menggema, menuntun saya untuk lebih dekat kepada-Nya.
Warisan yang Tak Ternilai
Orang bisa mewariskan harta, rumah, atau tabungan. Tapi bagi saya, sajadah ayah adalah warisan paling berharga. Ia bukan hanya kain, tapi simbol cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Cinta yang diwariskan kepada anak-anaknya tanpa banyak kata.
Sajadah itu kini saya simpan baik-baik. Dan saya pun mulai membelikan sajadah khusus untuk anak saya yang masih belajar salat. Saya ingin ia juga merasakan hangatnya sajadah, bukan hanya secara fisik, tapi secara jiwa.
Penutup: Sujud yang Menginspirasi
Kadang kita lupa bahwa benda sederhana seperti sajadah bisa menyimpan pelajaran hidup. Ia tidak pernah bicara, tapi ia mencatat ribuan sujud, ratusan doa, dan puluhan air mata. Ia mengingatkan kita, bahwa sejauh apapun kita melangkah, rumah sejati adalah ketika dahi menyentuh bumi — di atas sajadah.
Semoga setiap sujud kita menjadi warisan iman bagi generasi setelah kita, seperti sajadah ayah yang tak pernah berhenti mengajarkan arti cinta kepada Allah.
0 komentar:
Posting Komentar